Minggu, 29 April 2012

Matinya Kreativitas Kaum Muda?
Kamis, 12 april 2012
http://unnes.ac.id/wp-content/uploads/saratri.jpg
Oleh Saratri Wilonoyudho
“KEJENIUSAN” para bos teroris merekrut kader-kader muda lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memberikan dua pelajaran penting. Pertama, betapa memprihatinkan nasib anak-anak muda yang masih hijau ini tentang masa depan mereka setelah lulus SMK hingga mereka mudah tergiur untuk mendapatkan “pekerjaan” sebagai “teroris”. Kedua, betapa hebat para lulusan SMK, terutama SMK yang bermutu dalam mempelajari teknologi baru seperti perakitan bom.
Tulisan ringan ini tidak akan terlalu berbicara jauh soal terorisme namun sekadar ajakan untuk memerhatikan anak-anak muda kreatif agar mendapatkan penyaluran yang benar, dan ke depan dunia pendidikan formal juga mesti mampu membuat kurikulum yang sanggup membangkitkan kreativitas dan etos kerja anak bangsa. Revolusi Industri di Eropa Barat terjadi berkat semangat ini, demikian pula Jepang. Memuncaknya teori Max Weber tentang etika Protestan dan “Renaissance” yang didasarkan pada etos “virtu” atau “excellence” dalam segala bidang hingga melahirkan Leonardo da Vinci, Dante, Michellangelo, Van Gogh, Shakespeare, dan sebagainya.
Dalam Islam, ada istilah jihad, ijtihad, mujahadah, dan istiqomah, yang arti harfiahnya kerja keras, kreatif, dekat dengan Allah SWT dan disiplin. Islam pernah berjaya di Andalusia, Spanyol, Cordoba, Constantinopel, dan sebagian besar daratan Eropa. Ada Aljabar, Ibnu Sina, dan ilmuwan lain yang hingga kini ilmunya juga dikembangkan Barat.
Demikian pula Restorasi Meiji yang dikembangkan “kaum bushido” dan kaum Samurai, membuat jiwa para pedagang dan industrialis memiliki modal semangat, hemat, disiplin, dan rajin. Modal-modal sosial tersebut terus dipompakan dan dikembangkan ke dalam kehidupan masyarakat dan bangsanya. Kehidupan modern terus dikembangkan dengan dasar peningkatan performance, kebudayaan akademis, dan asketisme intelektual, kesemuanya akan dimuarakan kepada semangat untuk inovasi dan etos kerja yang tinggi untuk memperoleh self fulfillment.
Apabila etos kerja dapat meningkatkan emosional pekerja dalam pekerjaan —kata Sartono Kartodirdjo (1989)— maka dengan demikian dapat meningkatkan kualitas hidup, antara lain dengan memulihkan rasa kepuasan dengan self realisation lewat karya yang kreatif.
http://unnes.ac.id/wp-content/themes/conservation/images/q_left.pngBerpikir kreatif dan kritis merupakan aktivitas untuk menemukan jawaban-jawaban atas berbagai permasalahan, melahirkan ide atau gagasan atau cara-cara baru.http://unnes.ac.id/wp-content/themes/conservation/images/q_right.png
- - Saratri Wilonoyudho
Involusi Dunia Pendidikan
Meminjam istilah Clifford Geertz, sesungguhnya dunia pendidikan kita ini mengalami satu “involusi”, yakni suatu perumitan bentuk dan macamnya, namun tidak membawa perubahan yang berarti di sisi substansialnya. Dari kulit luar kelihatannya dunia pendidikan kita berkembang pesat —antara lain ditandai kemarakan pembukaan sekolah (RSBI, SSN, imersi, dan sebagainya)– namun mutu lulusan tidak begitu menggembirakan, bahkan dalam banyak kasus Ujian Nasional yang menjadi ukurannya, dijadikan ajang praktik ketidakjujuran.
Padahal etos kerja anak-anak sekolah di Singapura, Amerika, dan Jepang sebagaimana dilaporkan National Library (TST, 5/5/96) menunjukkan hal yang luar biasa. Para siswa di Jepang rata-rata melahap kira-kira 18 buku setahun, siswa Singapura 8 buku, dan Amerika 25 buku. Di Singapura, guru-guru rata-rata menghabiskan waktu 10 jam setiap minggu untuk membimbing siswanya mengerjakan PR, jumlah waktu belum termasuk bimbingan khusus bagi mereka yang lemah belajar. Dengan kata lain, latihan rutin maupun menumbuhkan etos kerja untuk mencari ilmu sudah mendarahdaging.
Dalam mendidik anak muda, idealnya dunia persekolahan kita tidak mengabaikan sama sekali nilai kerja sebagai aktivitas kultural dan spiritual sebagai penyalur kreativitas hidup. Para lulusan diharapkan pula dapat mengembangkan pendidikan yang menjadi kebudayaan masyarakat (Indonesia khususnya) yang membina dan mengembangkan secara intensif, keterampilan hidup, nilai-nilai hidup, dan pandangan hidup seseorang untuk mengembangkan peradaban.
Untuk mengembangkan budaya kreatif, ada proses rutin dalam pengembangan budaya “curiosity”, semangat akademis, semangat kerja sama, ketekunan, kedisiplinan, tanggung jawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba, seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group”, maupun kegiatan lain yang tidak terlalu bergantung pada kelengkapan fasilitas. Jarak antara guru dan siswa harus diperdekat agar terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat pengembangan ipteks.
Hasil penelitian Profesor Uri di Amerika Serikat (O`Brien, 1998) menunjukkan, kerja sama yang baik antar-(maha)siswa meningkatkan kreativitasnya. Dari penelitian kecil-kecilan ini Uri menemukan bahwa para mahasiswa dari Cina ternyata suka bekerja dalam kelompok (work gang), sebaliknya mahasiswa kulit hitam cenderung bekerja mandiri. Berdasarkan hal ini, Profesor Uri mulai mengubah kondisi dan tata letak kelas serta menerapkan sistem pembelajaran kelompok (cohort learning). Hasilnya, para mahasiswa kulit hitam mengalami peningkatan prestasi dalam beberapa bulan kemudian.
Simpulannya, Profesor Uri tidak memperbaiki pengajaran (teaching), namun memperbaiki kondisi pembelajaran (condition of learning).
Pada sisi lain, dalam gagasannya tentang “Five Minds for the Future” Gardner (2006) mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan global yang kuat harus dipenuhi antara lain adalah creative mind. Jika seseorang tidak memiliki kreativitas dan daya cipta yang kuat, ia akan mudah “dikalahkan” oleh mesin dan komputer.
Berpikir kreatif dan kritis merupakan aktivitas untuk menemukan jawaban-jawaban atas berbagai permasalahan, melahirkan ide atau gagasan atau cara-cara baru. Menurut Treffinger (1980), ada tiga tingkatan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang bercirikan berpikir kreatif dan kritis, yakni (1) Pelatihan untuk membangkitkan peserta didik untuk mengembangkan rasa ingin tahu, kepekaan terhadap tantangan baru, kepekaan terhadap persoalan baru, kepercayaan terhadap diri sendiri, kesediaan untuk dialog, serta keberanian untuk mengambil risiko.
(2) Pengembangan kegiatan kognitif tingkat tinggi, seperti kepiawaian dalam menganalisis masalah dari berbagai pengalaman dan persoalan yang dihadapi, dan dalam ranah afektifnya, peserta didik memiliki rasa kesediaan untuk berdialog, berempati, terbuka, dan mampu mengembangkan imajinasinya; dan (3) Keberanian melibatkan diri terhadap tantangan-tantangan yang nyata yang sebelumnya didahului oleh kepiawaian mengidentifikasi masalah-masalah yang pelik, dan selanjutnya mampu mengelola hal-hal tersebut untuk mengarah kepada produk atau hasil.
Dunia pendidikan dituntut mampu memperbesar peluang berkembangnya kapasitas peserta didik, seperti tumbuhnya sikap inovatif, kreatif, inisiatif, dan sikap kewiraswastaan lain. Kemudian kenyataan bahwa lulusan SMU dan lulusan akademi/perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, menunjukkan pentingnya dunia pendidikan mengantisipasi munculnya pola-pola baru di pasar kerja. Pengembangan hubungan yang lebih “kooperatif” antara dunia pendidikan dan dunia kerja seperti perusahaan dan sebagainya, penting untuk dipikirkan lebih jauh. Lewat pola-pola “magang” atau kerja sama di bidang penelitian, diharapkan para peserta didik mempunyai pengalaman yang nyata di pasar kerja, yang selanjutnya diharapkan mampu merangsang sikap kewiraswastaan.
Hasil studi Blau dan Duncan (1967) di Amerika Serikat, Mark Blaug (1974) di Inggris, dan Cummings (1980) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Pendidikan formal hanya memberikan kontribusi lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan dibandingkan dengan faktor-faktor lain di luar sekolah seperti pelatihan dan pengalaman.
Saratri Wilonoyudho, dosen Universitas Negeri Semarang; anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah; dan kandidat doktor UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar