Matinya Kreativitas Kaum Muda?
Kamis, 12
april 2012
Oleh Saratri
Wilonoyudho
“KEJENIUSAN”
para bos
teroris merekrut kader-kader muda lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
memberikan dua pelajaran penting. Pertama, betapa memprihatinkan nasib
anak-anak muda yang masih hijau ini tentang masa depan mereka setelah lulus SMK
hingga mereka mudah tergiur untuk mendapatkan “pekerjaan” sebagai “teroris”.
Kedua, betapa hebat para lulusan SMK, terutama SMK yang bermutu dalam
mempelajari teknologi baru seperti perakitan bom.
Tulisan
ringan ini tidak akan terlalu berbicara jauh soal terorisme namun sekadar
ajakan untuk memerhatikan anak-anak muda kreatif agar mendapatkan penyaluran
yang benar, dan ke depan dunia pendidikan formal juga mesti mampu membuat
kurikulum yang sanggup membangkitkan kreativitas dan etos kerja anak bangsa.
Revolusi Industri di Eropa Barat terjadi berkat semangat ini, demikian pula
Jepang. Memuncaknya teori Max Weber tentang etika Protestan dan “Renaissance”
yang didasarkan pada etos “virtu” atau “excellence” dalam segala bidang hingga
melahirkan Leonardo da Vinci, Dante, Michellangelo, Van Gogh, Shakespeare, dan
sebagainya.
Dalam Islam,
ada istilah jihad, ijtihad, mujahadah, dan istiqomah, yang arti harfiahnya
kerja keras, kreatif, dekat dengan Allah SWT dan disiplin. Islam pernah berjaya
di Andalusia, Spanyol, Cordoba, Constantinopel, dan sebagian besar daratan
Eropa. Ada Aljabar, Ibnu Sina, dan ilmuwan lain yang hingga kini ilmunya juga
dikembangkan Barat.
Demikian
pula Restorasi Meiji yang dikembangkan “kaum bushido” dan kaum Samurai, membuat
jiwa para pedagang dan industrialis memiliki modal semangat, hemat, disiplin,
dan rajin. Modal-modal sosial tersebut terus dipompakan dan dikembangkan ke
dalam kehidupan masyarakat dan bangsanya. Kehidupan modern terus dikembangkan
dengan dasar peningkatan performance, kebudayaan akademis, dan asketisme
intelektual, kesemuanya akan dimuarakan kepada semangat untuk inovasi dan etos
kerja yang tinggi untuk memperoleh self fulfillment.
Apabila etos
kerja dapat meningkatkan emosional pekerja dalam pekerjaan —kata Sartono
Kartodirdjo (1989)— maka dengan demikian dapat meningkatkan kualitas hidup,
antara lain dengan memulihkan rasa kepuasan dengan self realisation lewat karya
yang kreatif.
Berpikir kreatif dan kritis merupakan aktivitas untuk menemukan jawaban-jawaban atas berbagai permasalahan, melahirkan ide atau gagasan atau cara-cara baru.
- - Saratri Wilonoyudho
Involusi Dunia Pendidikan
Meminjam istilah Clifford Geertz, sesungguhnya dunia pendidikan kita ini mengalami satu “involusi”, yakni suatu perumitan bentuk dan macamnya, namun tidak membawa perubahan yang berarti di sisi substansialnya. Dari kulit luar kelihatannya dunia pendidikan kita berkembang pesat —antara lain ditandai kemarakan pembukaan sekolah (RSBI, SSN, imersi, dan sebagainya)– namun mutu lulusan tidak begitu menggembirakan, bahkan dalam banyak kasus Ujian Nasional yang menjadi ukurannya, dijadikan ajang praktik ketidakjujuran.
Berpikir kreatif dan kritis merupakan aktivitas untuk menemukan jawaban-jawaban atas berbagai permasalahan, melahirkan ide atau gagasan atau cara-cara baru.
- - Saratri Wilonoyudho
Involusi Dunia Pendidikan
Meminjam istilah Clifford Geertz, sesungguhnya dunia pendidikan kita ini mengalami satu “involusi”, yakni suatu perumitan bentuk dan macamnya, namun tidak membawa perubahan yang berarti di sisi substansialnya. Dari kulit luar kelihatannya dunia pendidikan kita berkembang pesat —antara lain ditandai kemarakan pembukaan sekolah (RSBI, SSN, imersi, dan sebagainya)– namun mutu lulusan tidak begitu menggembirakan, bahkan dalam banyak kasus Ujian Nasional yang menjadi ukurannya, dijadikan ajang praktik ketidakjujuran.
Padahal etos
kerja anak-anak sekolah di Singapura, Amerika, dan Jepang sebagaimana
dilaporkan National Library (TST, 5/5/96) menunjukkan hal yang luar biasa. Para
siswa di Jepang rata-rata melahap kira-kira 18 buku setahun, siswa Singapura 8
buku, dan Amerika 25 buku. Di Singapura, guru-guru rata-rata menghabiskan waktu
10 jam setiap minggu untuk membimbing siswanya mengerjakan PR, jumlah waktu
belum termasuk bimbingan khusus bagi mereka yang lemah belajar. Dengan kata
lain, latihan rutin maupun menumbuhkan etos kerja untuk mencari ilmu sudah
mendarahdaging.
Dalam
mendidik anak muda, idealnya dunia persekolahan kita tidak mengabaikan sama
sekali nilai kerja sebagai aktivitas kultural dan spiritual sebagai penyalur
kreativitas hidup. Para lulusan diharapkan pula dapat mengembangkan pendidikan
yang menjadi kebudayaan masyarakat (Indonesia khususnya) yang membina dan
mengembangkan secara intensif, keterampilan hidup, nilai-nilai hidup, dan
pandangan hidup seseorang untuk mengembangkan peradaban.
Untuk
mengembangkan budaya kreatif, ada proses rutin dalam pengembangan budaya
“curiosity”, semangat akademis, semangat kerja sama, ketekunan, kedisiplinan,
tanggung jawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba,
seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group”, maupun kegiatan lain yang tidak
terlalu bergantung pada kelengkapan fasilitas. Jarak antara guru dan siswa
harus diperdekat agar terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat
pengembangan ipteks.
Hasil
penelitian Profesor Uri di Amerika Serikat (O`Brien, 1998) menunjukkan, kerja
sama yang baik antar-(maha)siswa meningkatkan kreativitasnya. Dari penelitian
kecil-kecilan ini Uri menemukan bahwa para mahasiswa dari Cina ternyata suka
bekerja dalam kelompok (work gang), sebaliknya mahasiswa kulit hitam cenderung
bekerja mandiri. Berdasarkan hal ini, Profesor Uri mulai mengubah kondisi dan
tata letak kelas serta menerapkan sistem pembelajaran kelompok (cohort
learning). Hasilnya, para mahasiswa kulit hitam mengalami peningkatan prestasi
dalam beberapa bulan kemudian.
Simpulannya, Profesor Uri tidak memperbaiki pengajaran (teaching), namun memperbaiki kondisi pembelajaran (condition of learning).
Simpulannya, Profesor Uri tidak memperbaiki pengajaran (teaching), namun memperbaiki kondisi pembelajaran (condition of learning).
Pada sisi
lain, dalam gagasannya tentang “Five Minds for the Future” Gardner (2006)
mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan global yang kuat harus dipenuhi
antara lain adalah creative mind. Jika seseorang tidak memiliki kreativitas dan
daya cipta yang kuat, ia akan mudah “dikalahkan” oleh mesin dan komputer.
Berpikir
kreatif dan kritis merupakan aktivitas untuk menemukan jawaban-jawaban atas
berbagai permasalahan, melahirkan ide atau gagasan atau cara-cara baru. Menurut
Treffinger (1980), ada tiga tingkatan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
bercirikan berpikir kreatif dan kritis, yakni (1) Pelatihan untuk membangkitkan
peserta didik untuk mengembangkan rasa ingin tahu, kepekaan terhadap tantangan
baru, kepekaan terhadap persoalan baru, kepercayaan terhadap diri sendiri,
kesediaan untuk dialog, serta keberanian untuk mengambil risiko.
(2)
Pengembangan kegiatan kognitif tingkat tinggi, seperti kepiawaian dalam
menganalisis masalah dari berbagai pengalaman dan persoalan yang dihadapi, dan
dalam ranah afektifnya, peserta didik memiliki rasa kesediaan untuk berdialog,
berempati, terbuka, dan mampu mengembangkan imajinasinya; dan (3) Keberanian
melibatkan diri terhadap tantangan-tantangan yang nyata yang sebelumnya
didahului oleh kepiawaian mengidentifikasi masalah-masalah yang pelik, dan
selanjutnya mampu mengelola hal-hal tersebut untuk mengarah kepada produk atau
hasil.
Dunia
pendidikan dituntut mampu memperbesar peluang berkembangnya kapasitas peserta
didik, seperti tumbuhnya sikap inovatif, kreatif, inisiatif, dan sikap
kewiraswastaan lain. Kemudian kenyataan bahwa lulusan SMU dan lulusan
akademi/perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan,
menunjukkan pentingnya dunia pendidikan mengantisipasi munculnya pola-pola baru
di pasar kerja. Pengembangan hubungan yang lebih “kooperatif” antara dunia
pendidikan dan dunia kerja seperti perusahaan dan sebagainya, penting untuk
dipikirkan lebih jauh. Lewat pola-pola “magang” atau kerja sama di bidang
penelitian, diharapkan para peserta didik mempunyai pengalaman yang nyata di
pasar kerja, yang selanjutnya diharapkan mampu merangsang sikap kewiraswastaan.
Hasil studi
Blau dan Duncan (1967) di Amerika Serikat, Mark Blaug (1974) di Inggris, dan
Cummings (1980) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda
antara negara maju dan negara berkembang. Pendidikan formal hanya memberikan
kontribusi lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan dibandingkan
dengan faktor-faktor lain di luar sekolah seperti pelatihan dan pengalaman.
–Saratri
Wilonoyudho, dosen Universitas Negeri Semarang; anggota Dewan Riset Daerah
Jawa Tengah; dan kandidat doktor UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar